Kindness

Nenek Penjual Onde-Onde

Setiap pagi,  saya melewati seorang nenek penjual onde-onde di jembatan penyebarangan menuju selter busway. Tanpa lelah ia menengok ke kanan lalu berganti ke kiri menawarkan onde-ondenya. Wajah keriputnya tak pernah kehilangan harapan, berharap ada langkah kaki yg terhenti di depan keranjang onde-ondenya. Meski sebenarnya tanpa ia selalu bilang “Onde-onde Mas, Mbak…”  setiap yg lewat juga tahu klo si nenek berjualan onde-onde, pun jika ada yg berminat membeli pasti akan berhenti dengan sendirinya. Dia memang berdagang persis di tengah titik 3 arah jalan. Jadi mau tak mau setiap pejalan yg melintas akan melewatinya. Namun, si nenek lebih memilih “berusaha lebih” daripada sekedar “hanya berharap”.

Harga onde-ondenya memang mahal menurut sy, 5000 cuma dapet 3.  Atau memang pasarany segitu, sy kurang tahu. Dan rasa onde-ondenya jg biasa saja. Iba melihat onde-ondenya jarang ada yg membeli.

Di lain hari, sy membeli dalam jumlah banyak, meski sebenarnya sy sama sekali tidak ingin makan onde-onde. Sy mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu.

“Ini semua, Nak?” tanyanya meyakinkan diri. Sy mengiyakan.

Semestinya biasa saja, tapi mungkin krn jarang yg membeli onde-ondenya, ia terlihat senang sekali, wajahnya nampak sumringah. Lalu dengan semangat dan cekatan tangan rentanya memasukan onde-onde pesanan sy menjadi 2 kantong keresek kecil.

“Ga ditambahin neh, Mbah?” Saya sebenarnya cuma bercanda.

“Ambil untungnya cuma sedikit, Nak,” jawabnya. “Ditambahin gemblong aja ya…” Mungkin harga gemblong lebih murah.

“Boleh,” balas sy. Lalu ia menambahkan 2 buah gemblong.

“Mau buat apa, Nak?” tanyanya. Btw, sy juga belum tahu mau buat apa he…

“Mau di bawa ke kantor.”  Lah, karena sy memang mau berangkat ke kantor.

Sebenarnya dua kantong itu cukup sebagai pembungkus. Tapi lagi-lagi sy dibuat kagum oleh sikap si nenek, demi memberikan pelayanan lebih baik, karena tak ada plastik besar (mungkin supaya sy tidak kerepotan membawa 2 kantong keresek), tiba-tiba ia menumpahkan seluruh isi plastik besar yg ia gunakan sebagai wadah plastik2nya, krn itu satu2nya plastik besar yg ia miliki. Sy ingin mencegahnya tidak usah, tapi si nenek sudah keburu melakukannya.

“Semoga berkah ya Nak,” katanya. Saya hanya bisa tersenyum. Semoga Tuhan memudahkan rezekinya.

Di usianya yg renta ia masih mau berjuang. Si nenek lebih memilih bekerja daripada mengharap belas kasihan orang lain. Sedang di sisi lain, masih di jembatan yang sama, yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat si nenek berjualan, setiap hari, pagi hingga malam, seorang pria paruh baya yg sebenarnya masih cukup sehat lebih memilih untuk menjadi peminta-minta, mengemis, menengadahkan tangannya (tanpa lelah) mengharap belas kasihan orang lain. Memang satu kakinya cacat, tapi dia masih cukup kuat dan saya rasa mampu untuk memilih pekerjaan yg sesuai dengan kondisinya. Sy pernah beberapa kali memergokinya di hari libur, ia cukup cepat berjalan menuju tempat dia mangkal meski harus menggunakan tongkat. Yah…mungkin memang sudah jadi pilihannya begitu, hanya saja sangat disayangkan kondisi fisik yg masih cukup baik ia “syukuri” dgn cara seperti itu.

Leave a comment